Para pemimpin politik dan akademisi di Bali telah menanggapi bencana banjir baru-baru ini di Valencia, Spanyol. Pemandangan mengerikan di Eropa tersebut mengejutkan komunitas global, karena curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan banjir yang dahsyat.
Para pemimpin di Bali melihat situasi ini sebagai pengingat yang sangat tepat bagi para pembuat keputusan bahwa Bali harus melakukan lebih banyak persiapan untuk menghadapi bencana alam di tengah krisis iklim yang sedang berlangsung.
Dalam wawancara dengan media, Mahawan Karuniasa, dosen di Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia, menjelaskan, “Banjir di Valencia disebabkan oleh hujan ekstrem, hujan yang sangat ekstrem, hujan super, karena yang terjadi di sana adalah curah hujan setahun turun dalam waktu delapan jam, yang mengakibatkan banjir.”
“Dalam membangun infrastruktur berkelanjutan, kita harus memperhatikan kondisi perubahan iklim yang sedang terjadi.”
Ia khawatir karena semakin banyak lahan hijau penting di Bali yang diubah menjadi bangunan beton, sistem pencegahan dan pengelolaan banjir alami di Bali terancam.
Meskipun sistem subak telah teruji waktu sebagai cara mengelola aliran air di seluruh provinsi, ketika semakin banyak terasering sawah dialihfungsikan menjadi pembangunan pariwisata dan properti komersial, mekanisme penyerapan air ini hilang.
Karuniasa menjelaskan, “Belajar dari kejadian tersebut, Bali sebaiknya tidak hanya membangun infrastruktur, khususnya infrastruktur berkelanjutan tetapi juga mempertimbangkan perubahan iklim sehingga saat terjadi hujan ekstrem, hal itu harus diperhitungkan.”
Dia menambahkan, “Selain Valencia, Libya, Dubai, Yunani, dan bagian dunia lainnya sudah menghadapi perubahan iklim.”
“Oleh karena itu, Bali dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pariwisata dengan tetap menjaga budaya yang ada di Bali namun juga tangguh terhadap perubahan iklim, memiliki ketahanan atau kemampuan beradaptasi dengan kondisi sulit karena hal tersebut sudah menjadi bagian dari infrastruktur berkelanjutan.”
Bali harus mempertimbangkan secara serius perencanaan tata ruang dan manajemen bencana alam.
Terletak di jantung “Cincin Api,” Bali tidak hanya berisiko tinggi mengalami bencana alam akibat darurat iklim tetapi juga erupsi vulkanik, gempa bumi, dan tsunami.
Seiring perubahan pola cuaca, Bali semakin berisiko mengalami banjir dan kekeringan.
Pada Oktober 2023, status darurat kekeringan selama 14 hari diumumkan oleh Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya. Insiden ini juga bertepatan dengan rangkaian kebakaran di lokasi pembuangan sampah terbuka terbesar di Bali.
Saat Bali memasuki periode kekeringan, sampah di gunungan limbah menjadi mudah terbakar, dan kebakaran berlangsung selama beberapa hari, dengan asap beracun menyelimuti sebagian besar Kota Denpasar dan pesisir selatan pusat.
Tiga kabupaten di Bali mengalami 94 hari tanpa hujan, dan ketika hujan tiba, terjadi banjir lokal yang menambah tekanan pada sumber daya manajemen bencana di Bali.
Kelangkaan air merupakan masalah serius di Bali saat ini dan merupakan hal yang harus diperhatikan oleh para wisatawan.
Krisis air tawar yang serius dan berkelanjutan sedang berlangsung di pulau-pulau Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan, di mana para wisatawan diminta untuk berhati-hati dalam menggunakan air tawar selama kunjungan mereka.
Para pemimpin lingkungan sudah menyatakan bahwa Bali akan menghadapi krisis air tawar serupa dalam beberapa bulan mendatang jika perubahan besar tidak segera dilakukan.
Di Kintamani, para pemimpin juga menyerukan komunitas dan pemimpin bisnis untuk bersatu membuat rencana regional dalam menghadapi bencana alam saat musim hujan mendekat.
Di Kintamani, selain risiko tak terduga yang terkait dengan gempa bumi dan letusan gunung berapi, longsor dan cuaca ekstrem adalah penyebab kekhawatiran umum.
Dalam pertemuan publik yang diadakan pekan lalu, Penjabat Bupati Bangli I Made Rentin menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud menakut-nakuti masyarakat tetapi berniat mengajak warga dan pemilik usaha untuk ikut serta dalam pendidikan kesiapsiagaan bencana demi keselamatan wisatawan dan warga.
Ia menekankan, “Dalam waktu dekat, kami akan mengumpulkan semua pelaku usaha pariwisata di wilayah Kintamani dan sekitarnya. Termasuk di sekitar Gunung Batur untuk kami edukasi. Kami mengingatkan agar melakukan simulasi untuk melatih diri dan siap menghadapi bencana.”
Ia menambahkan, “Yang paling penting adalah menyelamatkan nyawa manusia. Bencana mungkin terjadi, tetapi keselamatan nyawa manusia adalah poin dan tujuan utama.”